Sabtu, 02 Februari 2008

Ketika si kecil kepergok Masturbasi


Ya ampun….., si kecil yang baru duduk di kelas 1 SD sudah melakukan masturbasi? Eit tunggu dulu, Anda tak boleh langsung memarahinya…

Handoko marah besar manakala memergoki putranya Rafli (6 tahun) tengah memeluk guling sambil terengah-engah. “Sedang apa kamu Rafli? Ayo hentikan!” Ayah dua anak ini merenggut guling itu dan mencampakkannya. Wajah Rafli ketakutan melihat wajah sang ayah yang sedang marah, ia tampak gemetar. Mungkin Anda pernah mengalami hal sama, mendapati anak-anak tengah masturbasi. Apa reaksi Anda, marah bercampur kaget, atau malah terbengong-bengong tak percaya?



Pada masa perkembangannya, anak akan mengalami perkembangan seksual yang meliputi perkembangan fisikoseksual (perkembangan secara biologik dan fisiologik) dan perkembangan psikoseksual. Kedua jenis perkembangan ini harus berjalan selaras agar kehidupan seksual menjadi normal. Freud membagi perkembangan psikoseksual pada masa anak menjadi 4 fase.
1. Fase oral: berlangsung sejak bayi lahir sampai usia 1-2 tahun. Pada fase ini, mulut merupakan pusat kenikmatan bagi bayi. Karena itu bayi senang menyusu dan mengisap.
2. Fase anal: berlangsung mulai usia 2-4 tahun. Pada fase ini, daerah dubur dan sekitarnya, seperti uretra (saluran kencing), merupakan pusat kenikmatan. Perasaan senang atau nikmat dirasakan ketika anak menahan buang air besar atau air kecil.
3. Fase falus: mulai usia 4-6 tahun. Anak merasakan alat kelaminnya sebagai bagian yang menyenangkan, anak senang mempermainkan kelaminnya. Sebagian anak, baik laki-laki maupun perempuan, bahkan dapat mencapai orgasme.
4. Fase laten: pada usia sekolah. Anak tidak lagi memusatkan perhatian kepada kelaminnya. Bahkan anak seakan-akan lupa bahwa kelaminnya merupakan bagian yang menyenangkan. Tetapi pada bagian akhir fase laten, yaitu pada masa menjelang remaja, perhatian terhadap kelamin mulai muncul lagi. Setelah itu anak memasuki masa remaja.

Keempat fase itu menunjukkan bagaimana anak menyadari ada bagian tubuh tertentu yang memberikan perasaan senang.

Perilaku anak pada fase falus atau yang disebut juga fase genital sebenarnya
merupakan suatu bentuk masturbasi yang tidak direncanakan. Artinya perilaku ini muncul begitu saja tanpa ada yang menyuruh. Mengapa? Karena pada masa itu anak mulai menyadari bagian kelamin menyenangkan bagi dirinya.

Banyak orangtua merasa khawatir atau merasa tidak senang melihat anaknya melakukan itu. Padahal dulu ketika kecil, mereka juga melakukan seperti itu. Kekhawatiran muncul karena orangtua tidak mengerti bahwa itu adalah sebagian perkembangan psikoseksual anak.

Penyebab lain, karena kesalahan informasi atau mitos tentang masturbasi, yang dianggap dapat menyebabkan berbagai penyakit, dan secara moral dianggap dosa. Karena itu tinjauan secara ilmiah harus diketahui oleh masyarakat, karena didasarkan pada banyak penelitian yang berarti mengandung kebenaran yang obyektif.

Perasaan tidak nyaman orangtua mungkin juga muncul kalau anak melakukannya di depan orang lain, misalnya ketika ada tamu. dalam keadaan seperti ini, sikap yang tepat ialah tidak memarahi anak. Orangtua dapat mengalihkan perhatian anak, misalnya dengan memberinya permainan.

Tetapi pada dasarnya orangtua tidak perlu khawatir, karena masa itu akan dilalui, dan anak masuk ke fase laten. Pada fase ini, anak tidak lagi terlalu memperhatikan kelaminnya. Perhatian terhadap kelamin muncul kembali setelah anak menjadi remaja. Pada masa remaja, masturbasi menjadi sering dilakukan lagi karena dorongan seksual muncul akibat pengaruh hormon testosteron.

Pendidikan seks kepada anak diberikan sedini mungkin, baik prasekolah di keluarga, maupun pada masa sekolah.
TIPS: Menghadapi anak masturbasi
1. Bersikap wajar, jangan memarahi atau membentaknya.
2. Alihkan perhatiannya, misalnya dengan mengajaknya bermain atau memberikannya mainan atau buku yang menarik
3. Hindari memegang kelaminnya terlalu lama, misalnya saat Anda memandikan atau menyabuninya.
4. Temani ia menjelang tidur, bacakan buku. Mendongeng merupakan langkah jitu untuk mengalihkan konsentrasi si kecil, karena dengan demikian ia akan larut dalam kisah dalam dongeng tersebut.
5. Sex education penting diberikan kepada si kecil, susunlah dalam bahasa sederhana yang mudah dicerna, jangan justru membingungkan.
Selengkapnya...

Menengok ulang halaqah kita

Tarbiyyah memiliki berbagai perangkat yang menyokongnya. Ada perangkat yang utama dan ada juga perangkat yang berfungsi sebagai penunjang. Perangkat tarbiyyah yang paling utama adalah usrah atau sekarang disebut sebagai halaqah yang beranggotakan sekitar sepuluh sampai dua puluh orang. Aktivitas halaqah menjadi aktivitas pekanan yang sangat wajib kita ikuti. Kemudian, sudah berapa lama kita mengikuti halaqah? Pertanyaan berikutnya : apa yang kita pahami tentang halaqah itu?

Mungkin kita pahami terlebih dahulu bahwa halaqah bukanlah hal yang baru. Dalam sirah Rasulullah, kita akan temui realitas halaqah ini secara jelas, khususnya di Darul Arqam periode Makkah. Dalam peradaban-peradaban Islam setelahnya pun kita dapati realitas halaqah. Pada masa Banu Abbassiyyah, lingkaran-lingkaran berupa halaqah seperti ini dapat kita temui di Palestina, Suriah, Mesir, Faris, Sijistan, dsb. Imam asy Syafi’I pun memiliki halaqah di Masjid ‘Amr kota Fusthat. Ia mengajarkan berbagai materi setiap pagi hingga wafatnya pada tahun 820 M. Lingkaran halaqah tersebut mengitari seorang faqih yang mengajarkan beberapa ilmu tertentu di masjid-masjid. Ternyata, bukan ilmu agama saja yang diajarkan, tetapi juga ilmu linguistik dan puisi. Hal ini bertahan hingga abad XI.

Halaqah-halaqah di masjid tadi mendorong terbentuknya pusat-pusat pendidikan di rumah para bangsawan dan kalangan masyarakat berbudaya. Pusat-pusat pendidikan ini dinamakan majalis al adab (lingkar sastra). Memang, realitas halaqah seperti ini hilang hingga beberapa abad kemudian, seiring dengan kemunduran umat Islam. Kini, bumi mulai dipenuhi kembali oleh halaqah-halaqah.

Lantas, apa itu halaqah? Bisa jadi, halaqah mengalami perubahan-perubahan makna tergantung dari kondisi dan zamannya. Jika kita perhatikan dua realitas di atas, antara halaqah Darul Arqam dengan halaqah masa Banu Abbassiyyah, sepertinya memiliki perbedaan makna. Pada masa Darul Arqam halaqah benar-benar menjadi perangkat tarbiyyah untuk menanamkan aqidah secara kuat, bukan berorientasi secara utama kepada materi keilmuan. Tarbiyyah seperti ini berorientasi membentuk kepribadian seorang muslim yang militan.

Tapi, ketika waktu terus berjalan, da’wah Rasulullah terus berekspansi dan mampu mengislamkan banyak qabilah dan orang di Jaziah Arab bahkan sebagian Afrika. Sebagian orang yang telah masuk Islam itu, ada yang tidak tertarbiyyah dengan baik. Maka wajar, pasca wafatnya Rasulullah, banyak qabilah dan orang Islam yang murtad. Abu Bakar memberantasnya dalam Perang Riddah. Kemudian, halaqah itu sepertinya memiliki pergeseran makna pada masa Banu Abbassiyyah. Pada masa ini, halaqah menjadi perangkat tarbiyyah yang berorientasi kepada materi keilmuan. Hal ini wajar karena pada masa ini umat Islam berada pada masa kejayaan dan kemapanan. Ilmu kemudian menjadi prioritas. Berbeda dengan periode Makkah yang berorientasi kepada penanaman aqidah dan pembentukan kepribadian yang militan.

Menurut penulis, kondisi dan zaman sekarang bukan zaman kejayaan Islam, tapi zaman kematangan, yaitu zaman transisi dari kebangkitan menuju.kemenangan dan kejayaan. Di sini pun halaqah memiliki makna yang agak sama dengan pada masa Darul Arqam. Jadi, halaqah sekarang bukan berorientasi kepada materi keilmuan sebagai titik tekan utama (Materialistis), tapi kepribadian, ilmu hanyalah salah satu faktor. Untuk membentuk kepribadian ini tentunya dibutuhkan pemahaman. Entitas pemahaman (al fahmu) ini setingkat di atas ilmu. Pemahaman di sini berarti pemahaman terhadap manhaj Islam baik secara konseptual maupun implementasi sekaligus.

Jadi, selama ini, halaqah kita adalah halaqah manhaj. Yang kita serap dan terapkan adalah manhaj, bukan materi keilmuan. Kita “mencari” manhaj, bukan mencari ilmu. Jika ingin mencari ilmu, atau meningkatkan ruhiyyah, atau ingin fisik yang kuat ansich, bukan halaqah tempatnya. Carilah ma’had-ma’had Islam untuk mencari ilmu. Carilah majelis-majelis mudzakarah untuk meningkatkan ruhiyyah kita. Atau carilah perguruan-perguruan bela diri jika ingin fisik yang kuat. Tapi halaqah ingin membentuk kepribadian yang mencakup ketiga hal tersebut. Sehingga, halaqah sebagai perangkat terpisah, tidak mampu memenuhinya sendirian. Karenanyalah, halaqah hanya menanamkan manhaj, bukan ilmu.

Manhaj adalah intisari dari ilmu itu sendiri. Banyak orang yang memiliki ilmu keislaman, tetapi ternyata tidak memiliki pemahaman atas intisarinya, yaitu manhaj Islam. Setiap saat, manhaj kita “diasah” dengan diinternalisasikan dan diimplementasikan dalam kehidupan ‘amal sehari-hari agar semakin “tajam”. Manhaj dapat diartikan sebagai metodologi yang menjiwai (ruh) ajaran Islam sebagai satu bentuk sistem. Manhaj memberikan kepada kita seperangkat solusi-sistemik untuk membingkai kehidupan. Pemahaman atas manhaj inilah yang akan membentuk kepribadian, mencetak kekhalifahan, mendirikan kekhilafahan, dan membangun peradaban. Bagaimana, rekan-rekan?

Wa Allahu A’lam.

By: Aulia Agus Iswar (PKS-Bekasi online) Selengkapnya...