Minggu, 22 Februari 2009

Ada Apa Dengan Hatiku...

Beberapa minggu yang lalu gw baru saja mendapatkan sebuah berita dari seorang sahabat. Sebenarnya.. isi beritanya sich biasa aja, cuman cara penyampaiannya itulah yang membuat gw tertarik, dengan mata melotot sambil mulut monyong-monyong dan sekali-kali gw liat tangan kanannya itu mengepal memukul tangannya yang sébelah kiri seakan-akan ada sebuah kemarahan didalam hatinya. Gw coba untuk tidak larut dalam alur ceritanya, gw berusaha untuk berpikiran jernih dan positif, sehingga gw bisa mengambil kesimpulan dari akhir ceritanya. Tapi gw salah dan kalah.. gw ikut larut dalam alur ceritanya bahkan justru gwlah yang terpancing emosinya.

“Sep.. TPA yang ustad ane rintis didaerah bukit duri di bubarin..!” itulah kalimat pertama yang melucur dari mulut sahabat gw sebagai pengantar menuju kalimat-kalimat berikutnya yang lebih menyakitkan. Awalnya gw berpikiran bahwa pembubaran TPA itu disebabkan karena kesalahan didalam memanage atau paling tidak karena kekurangan biaya. Dan hal ini sering di alami sama rekan-rekan gw yang lain. Tapi perkiraan gw salah.. “Semenjak kepengurusan DKM Masjid di pegang ama “orang-orang itu”.. semua kegiatan yang sudah berjalan dengan baik menjadi ancur, bahkan perpustakaan masjid juga, semua buku-bukunya harus sesuai dengan manhajnya pengurus..” Sahabat gw ampe narik napas panjang .. “ dan yang parahnya sep.. semua kegiatan keislaman mulai di larang.. dari yg namanya nasyid, marawis sampai kegiatan perayaan hari-hari besar Islam juga dilarang.”. Muka gw langsung panas.. tapi gw ga bisa berbuat apa-apa.. itukan bukan daerah gw…

Sebenernya gw juga punya pengalaman pahit ketika harus berurusan dengan “orang-orang seperti itu” . Saat itu ada yang memberikan sebuah email-email keIslaman. Awalnya gw sich enjoy-enjoy aja, karena menurut gw selama kita masih berstatus thalib.. jangan pernah merasa cukup.. sebagaimana yang di ucapkan Sa’id bin Jubair rahimahullah, “Seseorang tetap dikatakan ‘alim selama dia tetap belajar. Maka apabila dia meninggalkan belajar dan merasa cukup dengan ilmu yang ada padanya, maka dia adalah orang yang paling bodoh.”[1]

Tapi kok lama-lama isinya aga-aga menyudutkan dan sedikit memaksakan pendapatnya. Gw coba memberikan klarifikasi dengan menampilkan berbagai pendapat para imam mahzab. Dan berusaha untuk bersikap Tawasuth (pertengahan) karena memang sifat umat Islam adalah pertengahan antara agama-agama (milal), sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan kami jadikan kalian sebagai umat pertengahan (umatan wasathan).” (QS. Al Baqarah:143), sedangkan Ahlusunnah adalah pertengahan diantara kelompok-kelompok yang bersandarkan kepada Islam [2]

Gw juga paham kalo perbedaan didalam fiqh sudah dari dulu, “Telah ada perselisihan sejak lama pada masa para imam besar panutan: Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Ats Tsauri, Al Auza’i, dan lainnya. Tak satu pun mereka memaksa yang lain untuk mengubah agar mengikuti pendapatnya, atau melemparkan tuduhan terhadap keilmuan mereka, atau terhadap agama mereka, lantaran perselisihan itu.” [3]

Sekali-dua kali posting.. kok hati gw ga tenang, ibadah gw juga ga tenang.. masih ada ganjalan dihati, masih ada emosi yang terselip di hati masih ada pikiran-pikiran yang yang seharusnya tidak harus gw pikirkan. Gw khawatir virus-virus penyakit hati telah menggerogoti hati gw. Sholat jadi ga khusu’ yang terbayang adalah tulisan-tulisan yang membuat hati panas. Di ademin pake tilawah juga kaga mempan.

Sampai suatu ketika, email gw exfired, akhirnya gw bikin email yang baru. Sempet kepikiran untuk meregister email gw ke beberapa milis dan ”orang-orang itu”. Tapi niat itu gw urungkan.

Dan alhamdulillah .. hati gw merasa tenang. Ada sich beberapa email yang mampir, tapi gw berusaha untuk bersikap ikhlas.. kok ikhlas..?? iyalah.. gw harus ikhlas menerima perbedaan selama perbedaan itu masih didalam jalur furu’iyah dan ijtihadiyah yang syar’iyah.

Cukuplah taujih Robbaniyah ini dapat kita ambil pelajaran:

“Dan seandainya Tuhanmu kehendaki, niscaya Dia jadikan manusia itu umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu, dan untuk itulah Dia menciptakan mereka” (QS. Hud: 118-119) [4]

Note:
[1] Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim karya Ibnu Jamaa’ah halaman 183.
[2] Said bin Ali bin Wahf al Qahthany, Syarh al Aqidah al Wasithiyah Lisyaikhil Islam Ibni Taimiyah rahimahullah, hal.48. muraja’ah. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin. Cet.2, Rabiul Awal 1411H. Penerbit: Ri-asah Idarat al Buhuts al ‘Ilmiyah wal Ifta’ wad Da’wah wal Irsyad
[3] Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab al Hiwar wal Qawaid al Ikhtilaf, hal. 32. Mauqi’ Al Islam. Al Maktabah Asy Syamilah
[4] Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Allah mengkabarkan bahwa Dia mampu menjadikan manusia seluruhnya satu umat, baik dalam keimanan atau kekufuran, sebagaimana firmanNya yang lain‘Seandainya Tuhanmu kehendaki, niscaya berimanlah semua manusia di bumi’. Lalu firmanNya ‘tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu’ artinya perbedaan akan senantiasa terjadi antara manusia, baik tentang agama, keyakinan, millah, madzhab, dan pendapat-pendapat mereka. Berkata Ikrimah,’Mereka berbeda dalam petunjuk’. Berkata Hasan al Bashri, ‘Mereka berbeda dalam hal jatah rezeki, saling memberikan upah satu sama lain’. Yang masyhur dan benar adalah pendapat pertama (pendapat Ikrimah). Dan firman selanjutnya ‘kecuali yang dirahmati Tuhanmu’ artinya kecuali orang-orang yang dirahmati yang mengikuti rasul-rasul dan berpegang teguh kepada perintah-perintah agama, dan seperti itulah kebiasaan mereka hingga masa penutup para nabi dan rasul, mereka mengikutinya, membenarkannya, dan menjadi pembelanya. Maka beruntunglah dengan kebahagiaan dunia dan akhirat karena mereka adalah Firqah an Najiyah (kelompok yang selamat) sebagaimana yang diisyaratkan dalam sebuah hadits musnad dan sunan dari banyak jalur yang saling menguatkan satu sama lain, ‘Sesungguhnya Yahudi berpecah menjadi 71 golongan, dan Nasrani menjadi 72 golongan, dan umat ini akan berpecah menjadi 73 golongan, semua keneraka kecuali satu golongan’, mereka bertanya ‘Siapa mereka ya Rasulullah?’, rasulullah menjawab, ‘Apa-apa yang aku dan sahabatku ada di atasnya’. Diriwayatkan Al Hakim dalam Mustadraknya dengan tambahan ini.” ( Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul Azhim, II/465)

0 komentar:

Posting Komentar